Mie Ayam Gajah Mungkur

n🍊
5 min readOct 9, 2022

--

Sebagian orang, memilih mie sebagai makanan favoritnya. Mie instan, mie ayam, bahkan mie Italia sekalipun. Tidak ada waktu yang spesifik kapan kita harus menyantap makanan tersebut.

Sama seperti Aluna, Yunda, dan Marlo. Sejak duduk di bangku sekolah menengah, sampai saat inipun, mereka tetap mengunjungi warung mie ayam gajah mungkur yang tetap kokoh berdiri ditengah banyaknya proyek mangkrak. Setidaknya, satu minggu sekali mereka pasti datang setelah mereka menuntaskan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa.

“Bu Ina, Biasa ya! Buat Marlo pangsitnya tiga,” teriak Yunda, sebagai orang yang selalu bertugas memesan.

“Gimana-gimana?” tanya Yunda antusias.

“Gimana apanya?” Marlo menautkan kedua alisnya.

“Yaaa, how’s life gitu? Gimana sih gitu aja gak ngerti,” dengus Yunda, perempuan pemilik rambut yang panjangnya sebahu.

“Ya kayak biasa lah, sibuk danusan,” jawab Marlo lemas. Marlo selalu disibukkan oleh kegiatan organisasinya yang tidak pernah selesai.

“Eh, Yun. Liat deh temen lo,” lanjut Marlo sambil melirik ke arah Aluna yang terus memandangi langit.

“Hobi banget sih lo Lun, Mandangin langit kayak gitu.” Yunda mencolek bahu sahabatnya itu, namun tak ada pergerakan. Aluna tetap menatap langit-langit di atas kedai tersebut.

“Mending, lo bantuin bu Ina aja. Gabakal juga kali tiba-tiba ujan duit. Negara aja banyak hutangnya,” sahut Marlo pada Aluna.

“Engga, lagi mikir aja. Dulu pas kita masih sekolah gak segersang ini. Sekarang banyak bangunan kosong gitu kayak di film-film. Bu Ina gak serem apa ya?” ucap Aluna walaupun badan dan tatapannya enggan berubah.

“Lun.. Lun.. kamu tuh ya, kaya udah lama aja gak kesini. Kemana aja, masa baru sadar sekarang,” ucap bu Ina sambil membawakan tiga mangkuk pesanan mereka.

“Aneh emang dia, bu. Makan dulu, Lun,” ajak Yunda sambil menepuk bahu temannya.

Bu Ina yang memang sudah sangat mengenal ketiga anak itu, ikut duduk menemani pelanggan setianya.

“Udah ketemu emang, Lun? Sama cowo itu?” tanya bu ina, yang justru membuat Aluna salah tingkah sendiri. Pipinya pun merah, seperti kepiting yang baru saja selesai direbus.

Yunda dan Marlo mengeluarkan reaksi yang berbeda. Marlo masih cukup santai, mengingat Aluna bukan orang yang selalu mau bercerita. Lain halnya, dengan reaksi Yunda. Perempuan itu hingga terbatuk-batuk seperti mengetahui jika dunia akan segera memulai perang dunia.

Uhuk uhukk!”
“Hampir aja gue keselek bakso!” ucap Yunda.

“Bu, aku belum cerita sama mereka,” ujar Aluna sedikit berbisik dan memberi kode kepada Bu Ina.

“Oh, maaf.. Ibu gak tau. Tapi harusnya mereka berdua tau mah gapapa ya, wong mereka juga udah kayak keluarga kamu, Lun,” balas Bu Ina sambil tertawa.

Ck, dia emang gitu, Bu. Suka gak mau terbuka. Saya mah udah apal banget. Mending liatin aja,” kata Marlo masih dengan santainha melahap mie ayamnya.

“Ih, ada apaan sih? Gue doang yang gak tau?” tanya Yunda.

“Gue juga gak tau”

“Menurut saya, mending Bu Ina aja yang ceritain. Kalo nunggu Luna, ya sampai kita tiga kali balik kesini juga gaakan diceritain.”
“Eh tapi sesuatu yang privasi banget gak?” jelas Marlo

“Bukan apa-apa juga, terserah bu Ina aja,” jawab Aluna santai.

“Aluna tuh masih mikirin cowo yang dateng ke warung mie ayam tempo hari?” tanya Bu Ina santai. Namun, kali ini kedua temannya bereaksi sangat berlebihan sampai menyemburkan makanan di mulutnya.

“GIMANA?” sahut mereka bersamaan.

Mereka tahu, Aluna adalah pribadi yang jarang sekali bercerita. Apalagi, mengenai lawan jenis. Yang mereka tahu, permasalahan terbesar yang dihadapi Aluna adalah bagaimana cara dia menyelesaikan permainan Hay Day yang tak ada ujungnya itu.

“Jadi, waktu itu ada cowok nih dateng ke warung ibu. Pas banget lagi ada Aluna. Terus cowo itu ngobrolin banyak hal sama Aluna. Ibu sih gak tau ya mereka ngomongin apa, kebetulan warung juga lagi ramai. Nah, yang ibu engeh sih Aluna jadi punya gaya baru makan mie ayam ibu, yaitu pake saos,” jelas bu Ina. Sementara Aluna mengambil botol saos dan menuangkan ke mangkuk mienya.

Marlo kembali mengingat, “Oh, jadi awalnya dari situ.”

“Awal apaan sih?” tanya Yunda gemas.

“Ah, ngomong sama lo susah banget. Gue saking seringnya makan sama kalian tuh udah hafal kebiasaan kalian. Lo gapernah mau daun bawang aja gue inget,” balas Marlo.

“Terus kenapa tuh cowo, Lun?”

“Unik aja,Mar,” balasnya singkat.

“Lu jangan bikin gue emosi ya, Lun” sahut Yunda.

“Bener unik, Yun. Gue tuh baru kenal, bahkan gak kenal juga sih. Tau nama juga engga. Tapi udah ngobrolin banyak hal. Wow pokoknya gue kaya melihat orang yang wawasannya bener-bener terbuka. Apa ya? Obrolan kita tuh ngalir aja.”

Yunda akhirnya menyadari, begitu melihat mangkok mie milik Aluna.

“Terus, dia juga ngajarin gue cara makan mie ayam pake saos. Yang menurut gue tadinya aneh, tapi pas dicoba enak.”
“Harusnya, lo tau sih seberapa benci gue makan mie pake saos.”

“Itumah, lo aja yang kebanyakan nonton investigasi saos dari cabe busuk. By the way, orangnya ganteng, bu?” tanya Yunda ke Bu Ina.

“Ah, ibu juga lupa, Yun”

“Gue masih inget sih. Tapi beneran dia gak pernah keliatan lagi,” Aluna menundukkan pandangannya.

“Ya, kalo emang dia di sekitar sini ya, menurut gue pasti masih keliatan lah. Ini kan engga sama sekali. Mending lo makan deh, entar mie lo keburu ngelebar,” usul Yunda.

“Masalahnya, kenal nama engga, punya fotonya juga engga. Emang sih, Google punya fitur search image. Tapi kalo gak ada fotonya mah gimana. Pake muka Marlo?” kata Yunda dengan jokes garingnya.

“Lo deg-degan gak?”

“Dikit, Yun.”

“Yaiyalah gila lo, kalo gak deg-degan ya mati! Haha. Kayanya temen lo jadi dimabuk cinta deh, Mar.” Yunda tertawa dengan kebiasannya sambil memukul Marlo dan Aluna.

“Bu Ina, kalo orangnya dateng lagi, tolong lah kasih tau temen saya ini!”

“Mending, sekarang lo sebutin ciri-cirinya deh,” kata Marlo yang mulutnya penuh dengan makanan.

Aluna meletakkan alat makannya sejenak. Dan mendeskripsikannya kepada Marlo dan Yunda.

“Rambutnya agak keriting, terus his glasses yang bening-bening gitu. Wanginya.. kaya blueberry?”

“Lah, kaya permen karet”

“Serius dulu, Mar!” tegur Yunda.

“Kemarin pas ketemu gue bawa ransel coklat. Gak terlalu besar sih, standar aja kaya tas kita-kita buat bawa laptop. Pas ketemu gue pake baju dan celana hitam. Kemeja tepatnya, dan digulung sampai siku. Ya, thats all,” jelas Aluna sedikit menjelaskan.

“Terus, kalo ketemu lagi mau ngapain?” tanya Yunda.

“Hahahaha, gak ngapa-ngapain. But, can we have a date? ngegas banget gue.”

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sorry? Kayanya, yang lagi kalian omongin itu, gue deh?” Ucap seseorang di belakang mereka bertiga.

Aluna, Yunda, dan Marlo pun memutar kepalanya menuju sumber suara. Terkejut bukan main, laki-laki yang berdiri dihadapannya kini, memiliki ciri-ciri yang sama persis dengan yang dilontarkan Aluna beberapa detik lalu.

“Jadi, bener gak?”

“Bu, Ina! Mie ayam satu lagi, Bu!” histeris Yunda yang lebih terkejut dari sang pemeran utama, Aluna.

End.

--

--